Masjid Sultan Suriansyah
Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin adalah sebuah masjid bersejarah yang merupakan masjid tertua di Kalimantan selatan. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), Raja Banjar Pertama yang memeluk agama islam. Masjid Kuin merupakan salah satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota Banjarmasin pada masa Mufti Jamaluddin (Mufti Banjarmasin), masjid yang lainnya adalah Masjid Besar (cikal bakal Masjid Jami Banjarmasin) dan Masjid Basirih. Masjid ini terletak di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin Utara, banjarmasin kawasan yang dikenal sebagai Banjar Lama merupakan situs ibukota Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid ini letaknya berdekatan dengan Komplek Makam Sultan Suriansyah dan di tepian kiri sungai Kuin.
Masjid yang didirikan di tepi sungai kuin ini memiliki bentuk arsitektur tradisional Banjar, dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang. Pada bagian mihrab masjid ini memiliki atap sendiri yang terpisah dengan bangunan induk.
Museum Wasaka
Museum Wasaka adalah sebuah museum perjuangan rakyat kalimantan Selatan. Wasaka singkatan dari Waja Sampai Kaputing yang merupakan motto perjuangan rakyat Kalimantan Selatan.
Museum bertempat pada rumah banjar Bubungan Tinggi yang telah dialih fungsikan dari hunian menjadi museum sebagai upaya konservasi bangunan tradisional.
Terletak di Gang H. Andir, Kampung Kenanga Ulu, Kelurahan Sungai Jingah, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin.
Museum Kerajaan Kalimantan Tengah : Yang Terletak di Banjarmasin
Pistol VOC koleksi Museum Wasaka di Banjarmasin.
Pasar Terapung Muara Kuin
Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Terapung tradisional yang berada di atas sungai barito di muara sungai kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Para pedagang dan pembeli menggunakan jukung, sebutan perahu dalam bahasa banjar. Pasar ini mulai setelah Sholat Subuh sampai selepas pukul tujuh pagi. Matahari terbit memantulkan cahaya di antara transaksi sayur-mayur dan hasil kebun dari kampung-kampung sepanjang aliran sungai Barito dan anak-anak sungainya.
Para pedagang wanita yang berperahu menjual hasil produksinya sendiri atau tetangganya disebut dukuh, sedangkan tangan kedua yang membeli dari para dukuh untuk dijual kembali disebut panyambangan. Keistemewaan pasar ini adalah masih sering terjadi transaksi barter antar para pedagang berperahu, yang dalam bahasa Banjar disebut bapanduk.
Kini pasar terapung Kuin dipastikan menyusul punah berganti dengan pasar darat. Banyak wisatawan yang berkunjung ke Kuin harus menelan kekecewaan karena tidak menjumpai adanya geliat eksotisme pasar di atas air.
Kepunahan pasar tradisional di daerah "seribu sungai" ini dipicu oleh kemaruk budaya darat serta ditunjang dengan pembangunan daerah yang selalu berorientasi kedaratan. Jalur-jalur sungai dan kanal musnah tergantikan dengan kemudahan jalan darat. Masyarakat yang dulu banyak memiliki jukung, sekarang telah bangga memiliki sepeda motor atau mobil.